SBH GONDANGLEGI

SBH GONDANGLEGI

CERITA RAKYAT MALANG ( ASAL MUASAL UPACARA KARO )

Setya dan Satuhu berebut pusaka Aji Saka
Konon diriwayatkan pada zaman dahulu kala terdapat seorang tokoh yang bernama Aji Saka di tanah Jawa. Aji Saka adalah putra Bambang Dursila, yang meninggal saat hendak mengambil permata naga Antaboga. Ayah Bambang Dursila, Ki Kures, sangat marah mendengar anaknya dibunuh Antaboga, “Tuan naga, istri putraku saat ini sedang hamil.” Tetapi Antaboga menghibur Kyai Kures agar tidak bersedih dengan kematian Dursila, terutama karena ia akan memiliki seorang cucu yang lebih elok. Kemudian Antaboga memerintahkan Ki Kures membawa cucunya tersebut bila nantinya lahir seorang anak laki-laki.
Ternyata menantunya melahirkan seorang anak laki-laki maka dibawalah ke sang naga. Lalu Antaboga mengangkatnya sebagai anak angkat dan diberi nama Aji karena wajahnya begitu rupawan. Anak itu diajari berbagai ilmu dan kesaktian. Ki Kures berseru ke Antaboga, “Aku belum pernah melihat anak setampan dia!” Antaboga menjawab, “Ah, tapi ada satu yang bahkan lebih tampan yaitu Kanjeng Nabi. Cucumu ini nantinya harus pergi untuk berguru padanya.” Kemudian setelah Raden Aji Saka beranjak dewasa, ia berangkat ke tanah Arab untuk menimba ilmu kepada Kanjeng Nabi. Setelah selesai, Raden Aji Saka kemudian kembali ke tanah Jawa dengan ditemani seorang hambanya yang sangat setia bernama Satuhu (Hana).
Sesampai di Pulau Jawa, penduduk pulau Jawa senantiasa hidup dalam ketakutan karena diperintah oleh Prabu Dewatacengkar, seorang raja yang gemar memakan daging manusia. Setiap hari, raja itu mewajibkan rakyatnya menyerahkan anaknya untuk dimakan. Rakyatnya cemas anak mereka akan habis dimakan oleh Prabu Dewatacengkar. Akhirnya Aji Saka berhasil membunuh Prabu Dewatacengkar. Betapa senangnya penduduk Pulau Jawa tidaklah terhingga. Atas jasa Aji Saka yang tak ternilai besarnya itu, mereka menobatkan Aji Saka menjadi raja menggantikan Prabu Dewatacengkar yang lalim dan kejam itu. Di bawah pemerintahan Prabu Aji Saka, segenap rakyat Pulau Jawa hidup dalam keadaan tenteram dan sejahtera.
Setelah beberapa saat memerintah di Pulau Jawa, Prabu Aji Saka baru menyadari bahwa pangot (alat tulis) dan kropak pemberian Kanjeng Nabi masih tertinggal di tanah Arab. Maka dipanggillah Satuhu, disuruhnya kem­bali ke Arab untuk mengambil benda berharga tersebut. Kepada hamba keperca­yaannya itu, Prabu Aji Saka berpesan, “Hanya engkaulah yang kupercaya menerima benda pusaka itu dari tangan Kanjeng Nabi dan membawa kemari, menyerahkannya kepadaku.”
Sementara itu, Kanjeng Nabi menanti Aji Saka yang tak kunjung datang untuk mengambil pangot dan kropak tersebut, bahkan beritanya pun tidak terdengar. Setelah itu berpikirlah Kanjeng Nabi, “Mungkin kropak dan pangot ini sangat dibutuh­kan oleh Aji Saka, untuk menghindarkan bencana yang menempuh hi­dupnya sewaktu-waktu.” Maka dipanggillah Setya, hamba kepercaya­annya untuk mengantarkan benda pusaka itu kepada Aji Saka. Sebelum berangkat, Setya diberi pesan, “Pangot dan kropak ini adalah pusaka Aji Saka. Hanya engkau­lah yang kupercaya menyerahkannya kepada pemiliknya! Ingat! Jangan sampai ada seorang pun berhasil merebutnya dari tanganmu.”
Kebetulan di tengah perjalanan antara Arab dengan Pulau Jawa, bertemulah Setya dengan Satuhu di Pulau Jumedi. Setelah saling tegur sapa, keduanya menyampaikan maksud dari kepergiannya. Setya menceritakan jika diutus oleh Aji Saka untuk mengambil benda pusaka yang tertinggal di Tanah Arab. Begitu juga sebaliknya, Satuhu menyampaikan alasan kepergiannya untuk menyerahkan benda pusaka Aji Saka yang tertinggal langsung kepada Aji Saka.
Akhirnya terjadilah perselisihan antara Setya dan Satuhu. Setya yang melihat benda pusaka milik Aji Saka berusaha merebutnya untuk dibawa pulang sesuai perintah Aji Saka. Dan sebaliknya, Satuhu bersikeras untuk mempertahankannya sesuai amanat dari Kanjeng Nabi bahwa benda-benda pusaka itu harus diantar langsung kepada pemiliknya yaitu Aji Saka. Keduanya terlibat perkelahian dan saling menunjukkan kesaktiannya. Tetapi di antara keduanya tidak ada yang kalah maupun tidak ada yang menang. Perkela­hian itu barulah selesai setelah kedua-duanya mati tertikam oleh keris lawannya. Mayat kedua orang itu tergeletak di tengah jalan di dekat benda pusaka Aji Saka.
Sang Aji Saka dan Kanjeng Nabi lama menunggu kedatangan dua utusannya. Karena tidak kunjung datang, masing-masing mencarinya. Di tengah perjalanan, mereka menemukan kedua orang utusannya tergeletak meninggal. Mayat Setya tergeletak membujur ke arah selatan dan mayat Satuhu membujur ke arah utara. Melihat hamba kesayangannya kini telah menjadi mayat, sedihlah hati mereka berdua. Mereka menyadari bahwa kematian mereka itu hanyalah karena kelalaian dan kekhilafan mereka. Mereka tahu, bahwa Setya dan Satuhu itu mati karena kesetiaan dan kepatuhan­nya menjunjung tinggi perintah tuannya. Untuk memperingati kematian Satya dan Satuhu itu, Prabu Aji Saka memerintahkan kepada segenap rakyatnya untuk menyelenggarakan selamatan yang sekarang disebut upacara Karo. Selain itu jika orang Tengger meninggal mayatnya dikubur membujur ke arah utara.
Sampai sekarang masyarakat Tengger menyelenggarakan upacara peringatan ini setiap tahun pada pertengahan bulan Karo. Upacara ini dilaksanakan selama tujuh hari. Selama itu mereka saling kunjung mengunjungi untuk mempererat tali persaudaraan yang mereka sebut sambung batin. Untuk meramaikannya seringkali diadakan hiburan pertunjukan seperti ludruk. Tujuan upacara Karo ini ialah memohon selamat untuk penghormatan kepada kedua orang tua

0 Response to "CERITA RAKYAT MALANG ( ASAL MUASAL UPACARA KARO )"

Posting Komentar

PUNGGAWA

FORMULIR REGRISTASI ANGGOTA SBH

FORMULIR REGISTRASI KRIDA

DIVINE MUSIK

wdcfawqafwef