SBH GONDANGLEGI

SBH GONDANGLEGI

CERITA RAKYAT MALANG ( JOKO UNTHUK )


Joko Unthuk dikurbankan ke dalam kawah Bromo (Foto: Cerita Rakyat Malang)
Joko Unthuk dipersembahkan ke kawah Gunung Bromo (Foto: Cerita Rakyat Malang)

Tersebutlah sepasang suami istri, Roro Anteng dan Joko Seger. Mereka tinggal di daerah yang sekarang dinamakan Tengger. Nama ini berasal dari gabungan nama keduanya, yaitu Roro Anteng dan Joko Seger.
Mereka hidup berbahagia. Namun, setelah sekian lama menikah, mereka belum juga dikaruniai anak. Mereka mencoba bertapa untuk berdoa kepada Dewa. Saat bertapa, mereka mendengar suara gaib yang akan mengabulkan keinginan mereka untuk memiliki anak. Syaratnya, salah satu anak mereka kelak setelah dewasa harus dipersembahkan kepada Dewa. Mereka ragu untuk menerima tawaran itu. Karena selama ini mereka tidak mempunyai anak, suami istri itu pun akhirnya setuju.
Dalam waktu singkat, Roro Anteng melahirkan anak yang banyak. Hampir setiap tahun melahirkan. Ia berhenti melahirkan setelah anaknya berjumlah dua puluh lima. Setelah menginjak dewasa, anak-anak Roro Anteng dan Joko Seger pergi meninggalkan rumah untuk mencari ilmu.
Setelah memperoleh ilmu, anak-anak Roro Anteng dan Joko Seger menetap di daerah tertentu.
Dalam perjalanan mengembara, anak bungsu pasangan Roro Anteng dan Joko Seger yang bernama Dewa Kusuma tertinggal. Karena itu, ia kembali pulang sendirian ke Gunung Bromo.
Sesampai di rumah, ia tidak langsung masuk ke rumah. Ia mendengar kedua orang tuanya sedang menangis. Dari pembicaraan orang tuanya, Dewa Kusuma mendengarkan rahasia yang selama ini disimpan kedua orang tuanya.
“Bagaimana ini, Pak?” tanya Roro Anteng sambil menagis sesenggukan.
“Itulah yang aku pikirkan,” jawab Joko Seger.
“Anak kita yang terakhir ikut mengembara. Saya tidak tega untuk melarangnya. Tapi kalau sudah begini bagaimana?” ujar Roro Anteng sedikit keras.
Mendengar namanya disebut-sebut, hati Dewa Kusuma berdebar-debar.
“Padahal tahun ini adalah janji kita kepada Dewa untuk mempersembahkan anak kita yang terakhir kepadanya. Jika tidak, semua akan menjadi korban kemurkaan Dewa. Kita akan binasa semua,” kata Joko Seger datar.
“Iya, Pak. Lihatlah suara gemuruh Gunung Bromo semakin keras. Pertanda ia minta persembahan dari kita,” sahut Roro Anteng tampak bingung.
Mengetahui bahwa dirinya akan menjadi persembahan bagi Dewa, Dewa Kusuma langsung menemui orang tuanya.
“Ayah dan Ibu, saya siap menjadi korban untuk memenuhi janji itu. Mengapa Ayah dan Ibu harus bersedih?” kata Dewa Kusuma.
Mendengar perkataan anaknya, Roro Anteng dan Joko Seger menjadi sangat terharu. Mereka bertiga berangkulan dan bertangis-tangisan.
Semula Roro Anteng dan Joko Seger ingin mempertahankan anak mereka. Dewa Kusuma mengingatkan bahwa mereka justru akan binasa jika dia tidak dikorbankan. Mendengar itu, tidak ada pilihan lain bagi mereka selain mengorbankan Dewa Kusuma.
Dengan diantar oleh linangan air mata kedua orang tuanya, Dewa Kusuma diceburkan ke kawah Gunung Bromo. Seketika itu, kawah Gunung Bromo yang sedang meledak-ledak langsung diam. Suasana seketika sunyi senyap. Roro Anteng dan Joko Seger masih menangis dan merenungi nasib anaknya. Mereka sangat terharu melihat kesediaan Dewa Kusuma menjadi penyelamat saudara-saudaranya. Kalau tidak, tentu seluruh keluarganya akan habis, termasuk Dewa Kusuma sendiri.
Sebelum tubuh Dewa Kusuma menyentuh permukaan kawah, ia pingsan. Saat tercebur di kawah, tubuhnya mengapung di atas air kawah Bromo. Ajaib! Ia tidak hangus oleh panasnya kawah Gunung Bromo. Ternyata di dalam kawah Bromo tersebut ada terowongan yang ujungnya berada di daerah Winongan, Pasuruan. Tubuh Dewa Kusuma yang sedang pingsan, terbawa arus air, masuk terowongan dan akhirnya muncul di sebuah sumber air di Winongan. Kebetulan saat itu ada seorang empu bernama Empu Sakti datang ke tempat itu bersama seorang pembantunya bernama Ki Macan Loreng. Tubuh Dewa Kusuma yang sedang pingsan langsung diambil dan dibawa pulang.
Sesampai di rumah, Dewa Kusuma berhasil dibangunkan oleh Empu Sakti. Setelah siuman, ia ditanya oleh Empu Sakti. “Anak tampan, siapakah namamu dan dari mana asalmu?”
Dewa Kusuma menjawab, “Nama saya Dewa Kusuma atau Dewata Kusuma. Ibu saya bernama Roro Anteng dan ayah saya bernama Joko Seger. Mereka tinggal di Bromo.”
“Mengapa sampai engkau pingsan di sumber air?” Empu Sakti mencoba bertanya. Dewa Kusuma segera bercerita tentang riwayat hidupnya hingga ia yang menjadi persembahan di Gunung Bromo. Ia sendiri tidak tahu mengapa ia sampai di Winongan.
Empu Sakti ternyata sangat sayang kepada Dewa Kusuma dan menyarankan agar ia tinggal bersamanya. Dewa Kusuma dengan senang hati menerimanya. Untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan, ia juga tidak mau pulang kembali ke Gunung Bromo.
“Nak, ketika saya menemukan dirimu, badanmu dalam keadaan pingsan dan bercampur dengan riak air (bahasa Jawa: unthuk). Karena itu, kamu saya beri nama Joko Unthuk.”
“Terima kasih, Bapak,” jawabnya dengan sopan.
Empu Sakti adalah seorang pembuat keris. Saat bekerja, ia dibantu oleh Ki Macan Loreng. Suatu hari Empu Sakti akan pergi.
“Ki Macan Loreng, saya akan pergi. Tolong awasi Joko Unthuk,” pesan Empu Sakti.
Setelah Empu Sakti pergi, Ki Macan Loreng melanjutkan pekerjaannya, yaitu membuat keris. Melihat Ki Macan Loreng bekerja membentuk keris dengan peralatan palu, Joko Unthuk merasa kasihan.
“Ki, bolehkah saya membantu?” tanya Joko Unthuk.
“Jangan! Ini panas, nanti kamu bisa terkena api dan terluka!” larang Ki Macan Loreng.
“Tidak, Ki! Saya kasihan melihat Ki Macan Loreng bekerja begitu berat.”
“Ya, kalau begitu silakan. Hati-hati ya!” jawab Ki Macan Loreng.
Joko Unthuk kemudian membantu pembuatan keris. Ki Macan Loreng sangat terkejut melihat Joko Unthuk bekerja. Untuk membentuk keris, Joko Unthuk tidak menggunakan palu, tetapi cukup menggunakan tangan. Besi panas yang menyala langsung dipijit-pijit dengan tangannya. Dalam waktu singkat ia sudah bisa membentuknya menjadi keris seperti yang dikehendakinya. Keris buatannya cukup sakti dan sangat ampuh.
“Ini bukan anak sembarangan. Boleh jadi ini keturunan Dewa,” kata Ki Macan Loreng dalam hati.
Setelah Empu Sakti pulang, hal ini diceritakan oleh Ki Macan Loreng kepada Empu Sakti. Sejak itu, semua keris buatan Empu Sakti menjadi sangat terkenal dan semakin laris di pasaran. Hanya saja, ada satu pantangan untuk memperdagangkan keris buatan Empu Sakti. Pedagang tidak boleh mengambil untung berlebihan. Kalau hal ini dilanggar, keampuhan keris akan sirna, dan cara pembuatannya pun juga akan kembali seperti semula yaitu menggunakan peralatan.
Pada suatu hari, ternyata ada seorang pedagang keris yang melanggar. Ia menjual dengan mengambil untung berlebihan. Saat itu juga keampuhan keris buatan Empu Sakti sirna.
Waktu pun berjalan, Empu sakti dan Ki Macan Loreng terlihat semakin tua. Menyadari badannya yang semakin tua, Empu Sakti berpesan kepada Joko Unthuk.
“Hai Joko Unthuk, anakku. Ketahuilah, sekarang Bapak sudah tua. Sudah waktunya menyerahkan semua pekerjaan ini kepadamu. Melihat kesaktianmu dalam membuat pusaka, saya menamakan dirimu dengan sebutan Empu Supa.”
Tidak berapa lama setelah itu, Empu Sakti wafat dan dimakamkan di belakang rumah. Beberapa tahun kemudian, Ki Macan Loreng juga meninggal dunia dan dimakamkan di dekat makam Empu Sakti. Sejak itu, banyak sekali orang yang berziarah ke makam tersebut.
Sumber: Cerita Rakyat dari Malang – Wahyudi Siswanto & Sisbar Noersya

0 Response to "CERITA RAKYAT MALANG ( JOKO UNTHUK )"

Posting Komentar

PUNGGAWA

FORMULIR REGRISTASI ANGGOTA SBH

FORMULIR REGISTRASI KRIDA

DIVINE MUSIK

wdcfawqafwef